20100110

EMBRIO KEBANGSAAN (Alex F. Litaay)

EMBRIO KEBANGSAAN
Alex F. Litaay

Kehidupan dan kelanggengan model kebangsaan harus ada konsensus semua pihak, sehingga dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi persoalan ini. Berdasarkan hal itu, Kelompok Cipayung mengatakan bahwa konsensus antarorganisasi mahasiswa harus melindungi semua komponen, baik dalam gagasan-gagasan maupun kegiatan-kegiatan sehingga ada kesempatan untuk mengungkapkan yang terkait di atas tadi. Itulah dianggap sebagai idaman mahasiswa, dan diperlukan melalui angkatan generasi muda.
Paham kebangsaan dalam kesifatan negara kita terdiri pada majemuk yang berbagai macam suku, budaya, dan paham sehingga untuk hal-hal ini harus berorientasi pada suatu nation-building, pengembangan kebersamaan bangsa, dan menemukan jati diri bangsa. Dalam kenyataan kehidupan sosial-politik seakan-akan mengabaikan nation-building, sedangkan di sisi lain selalu menekan pada state-building. Apabila nation-building, dari suatu negara diabaikan atau dihilangkan, maka akan ada perpecahan-perpecahan antarideologi, antaretnis, antarbudaya, antaragama, atau antarsuku seperti misalnya di negara-negara Uni Sovyet, Yugoslavia, Korea, dan lain-lain.
Tiga puluh tahun yang terakhir seperti selangkah mundur bagi nation-building, terbukti selama ini kekuasaan negara masih berbicara soal-soal kesukuan, keetnisan, keagamaan, keideologian, dan sebagainya. Apabila terus-menerus dilakukan, di mana menyepelekan konsensus semua pihak, maka kehidupan dan kelanggengan model kebangsaan mulai pudar, malahan lebih jauh yakni persatuan bangsa dan kesatuan negara akan dihancurkan melalui perpecahan fisik antarkelompok.
Kelompok Cipayung menyadari tentang pola kebangsaan, dan sekaligus tentang kelemahan-kelemahan model kebangsaan sehingga untuk mengantipasi hal-hal tersebut kita harus melakukan terobosan., dan kadang-kadang kontroversial terhadap wujud kebudayaan politik yang berlaku. Dalam pengalaman Kelompok Cipayung, saya melihat dan merasai adanya paham kebangsaan dalam interaksi di mana tidak ada lagi perbedaan antarsuku, antarbudaya, antargolongan, antaragama, dan antarpaham. Hubungan antara organisasi-organisasi mahasiswa yang bernaung dalam Kelompok Cipayung dipandang sebagai sederajat dan setara dalam strata kualitas, tidak ada kecurigaan, serta menghindari tindakan-tindakan ekslusif. Di lain pihak, untuk bersama-sama membicarakan masalah kenegaraan dan kemasyarakatan semua organisasi mahasiswa berada pada duduk setaraf, tidak ada hegemoni kekuasaan, melepaskan diri dari out-sider atau inner-circle masing-masing, serta menjauhi kesombongan intelektual organisasi.
Pergerakan-pergerakan mahasiswa yang menjurus pada sikap idealisme sebagian kecil adalah kehendak mahasiswa, sedangkan di sisi lain ada kendala-kendala terhadap sistem pendidikan politik yang mencegah sikap idealisme. Sikap idealisme sendiri menuju kepada pandangan yang jauh, mengarah pada wawasan kebangsaan dan kemajuan negara. Hal tersebut hendaknya berpusat pada subyek pembangunan nasional yakni, setiap warga negara termasuk mahasiswa untuk melakukan tindakan-tindakan bagi kepentingan mereka. Pergerakan mahasiswa, sikap idealisme, dan pandangan-pandangan di atas tadi tidak terpisahkan dari kaitan strategi pembangunan nasional, di mana untuk mencapai cita-cita bangsa, Kelompok Cipayung adalah salah satu dari pergerakan mahasiswa mengenai aktivitas kelompok ini tertuju pada kebijakan dan tindakan pembangunan, serta terkait dengan pembinaan generasi muda.
Dalam perkembangan Kelompok Cipayung sudah dikenal oleh masyarakat terutama kalangan generasi muda, berbicara apa adanya mengenai iklim dan situasi saat ini, terus-terang, jujur, tidak ada pamrih terhadap kedudukan politik, menerobos budaya kekuasaan yang sedang berlaku, bersifat kebebasan tetapi patuh pada tanggung jawab nilai kemerdekaan, dan sebagainya. Mereka juga mengamati dan menanggapi persoalan-persoalan sosial dan aspek-aspek lain, khususnya hal-hal feodalisme, kemiskinan struktural, kesenjangan sosial, korupsi dan nepotisme, serta mengabaikan demokrasi dan keadilan, menyepelekan martabat dan HAM, dan sebagainya.
Hal-hal semacam itu dalam periode saya sebagai fungsionaris Kelompok Cipayung dianggap tabu dari kehidupan budaya-politik. Namun dewasa ini, hal-hal seperti itu merupakan wajar dan lumrah dalam kebiasaan-kebiasaan wujud kebudayaan sosial. Di sisi lain, gagasan dan tindakan kenegaraan berpusat pada masalah kekusaan dalam kebiasaan-kebiasaan wujud kebudayaan sosial, bukan masalah keadilan sehingga untuk memutuskan hal-hal tersebut dalam keberhasilan pembangunan harus berdasarkan masalah kekuasaan. Di lain pihak prospek-prospek negara sangat tidak menguntungkan dan merugikan kepentingan rakyat, terbukti bahwa prospek-prospek ini telah diakui sebagai hal-hal cenderung mengarah pada kelompok atau pribadi, dan bukan kepentingan-kepentingan bangsa dan negara.
Keberadaan Kelompok Cipayung memang mengandung risiko-risiko terhadap persoalan kekuasaan ynag sedang berlangsung. Namun ada kesungguhan bagi kebenaran hal di atas, yakni persoalan-persoalan negara, di mana pokok-pokok pikiran Kelompok Cipayung dalam mengungkapkan pendapat didasari oleh tolok ukur dasar-dasar negara yakni, filosofi Pancasila dan UUD 1945. Pancasila bukan mitos untuk mempertahankan asas negara atau hak kekuasaan, melainkan sebagai etos kehidupan bangsa dengan tindakan-tindakan yang nyata. Bahasan-bahasan tersebut bukan saja bentuk-bentuk lahiriah, tetapi juga tindakan-tindakan substansial, dan tidak ada perbedaan di antara kedua hal ini.
Kesan-kesan saya dari pengalaman-pengalaman Kelompok Cipayung yang tidak dilupakan akan diuraikan sebagai berikut, pada tahun 1981 ada diskusi Kelompok Cipayung mengenai aspek ekonomi negara. Setelah selesai diskusi, semua aktivis Kelompok Cipayung merasa puas dan lega. Untuk kesemua itu, kami setuju untuk bersama-sama makan malam di restoran Padang di dekat rumah sakit Cipto Mangunkusuma, Jakarta. Setelah duduk untuk makan malam, tiba-tiba seluruh lampu listrik padam, mungkin karena gangguan teknis sehingga situasi ini sama sekali gelap. Dalam keheningan, seorang aktivis menyeletuk: “Kesunyian ini kadang-kadang merasa takut dan panik sebab seluruh lampu dipadamkan. Aroma kegelapan menjalar ke segenap pelosok ruangan. Untuk itu, saya mengusulkan agar kita berdoa kepada Allah. Bukan karena ketakutan atau kepanikan, melainkan berterima kasih kepada Tuhan karena kita sempat untuk makan malam bersama-sama, dibandingkan teman-teman lain yang lapar dan menderita kemiskinan absolut.”
Semua aktivis Kelompok Cipayung sepakat untuk berdoa, dan dipimpin oleh Abdullah Hemamahua (Ketua Umum PB HMI). Setiap orang bersujud dan menunduk. Keheningan sambil berdoa yang tulus mengingatkan bahwa, Tuhan adalah segala-galanya. Tuhan adalah satu yang tertinggi dari kekuasaan serta Maha Pengasih. Kami berdoa tanpa perbedaan unsur agama, memperkuat prinsip-prinsip kami yang diyakininya, serta mengejar tempat tujuan yang telah disepakati untuk mengarah pada kebahagiaan yang mutlak. Spiritualitas keagamaan memang lebih tinggi dibandingkan agresif kekuasaan manusiawi. Inilah sebagai basis-basis kesadaran moral, sebagai embrio kebangsaan yang tumbuh dari bawah.
Apakah kebersamaan Kelompok Cipayung saat ini dapat dijalankan? Saya tidak mengetahui hal-hal itu, karena saya tidak terlibat lagi dalam kegiatan Kelompok Cipayung. Akan tetapi, kesemuanya itu dari hal-hal di atas tadi kalau bisa akan dipertahankan, terutama fitrah dan kiprah Kelompok Cipayung yang sebelumnya didengarkan kepada seluruh masyarakat. Itulah sebagai pesan-pesan saya.

Alex F. Litaay- Mantan Ketua Pengurus Pusat GMKI

1 komentar:

  1. Bang .... diskusi 1981 itu apa yang di Klndr itu ya. Kalau yang itu saya ikut. Dulu kita bisa berdoa bersama, kenapa sekarang tidak? Kita harus bisa. Jangan mau dibohongi mereka2 yang jadi antek nggak jelas itu. Selain itu dukungan moral dari masing-masing unsur makin menipis. Ya karena leadership kita melemah secara nasional. Banyak teror aja nggak bisa bersikap ....!!!

    BalasHapus