20100110

IDAMAN KEMAHASISWAAN (Drs Christ Siner Key Timu)

IDAMAN KEMAHASISWAAN
Drs. Christ Siner Key Timu

Di akhir tahun 1969 ketika KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) tidak lagi berfungsi, secara formal kehidupan berorganisasi tidak lagi diminati oleh kalangan mahasiswa. Maka muncul gagasan untuk membentuk suatu forum dimana organisasi mahasiswa dapat saling bertatap muka untuk membahas bersama berbagai masalah sosial, baik yang menyangkut kehidupan perguruan tinggi dan kemahasiswaan maupun yang menyangkut kenegaraan. Hal itu disebabkan karena situasi organisasi-organisasi yang ada pada saat itu terlihat seperti lesu tanpa dinamika, kerdil tanpa kreativitas, bisu tanpa suara karena masing-masing organisasi mahasiswa yang ada mengurung diri dan hanya mampu melakukan kegiatannya sendiri-sendiri.
Bermula dari pertemuan bilateral antara Pengurus Besar HMI dan Pengurus Pusat PMKRI pada bulan Oktober 1969 di Jln. Sam Ratulangi I, Jakarta Pusat. Pertemuan itu merupakan pertemuan antar dua kawan lama yang akrab sejak zaman Orde Lama dalam menghadapi kubu mahasiswa CGMI dan sekutu-nya, keakraban ini diteruskan pada tahun-tahun awal Orde Baru melalui wadah KAMI. Keakraban itu berkurang setelah KAMI tidak terdengar lagi ibarat mati tanpa bangkai. Pertemuan dialog itu terjadi bukan karena dorongan dari luar apalagi rekayasa atau paksaan tetapi karena keduanya saling menyadari akan keharusan pertemuan tersebut untuk sama-sama menyumbangkan sesuatu bagi perjalanan bangsa.
Di awal pertemuan kedua belah pihak tidak berjalan mudah
sepeti yang di perkirakan karena masih terlihat kekakuan serta kecanggungan satu sama lain. Hal itu disebabkan karena kedua belah pihak sama-sama tidak tahu persis apa yang harus mulai dibicarakan dan dari titik tolak mana pembicaraan akan digulirkan.
Dari pertemuan tersebut terkesan bahwa kedua belah pihak menunjukkan sikap hati-hati dan penuh perhitungan karena sama-sama berpendapat semua itu jangan sampai bubar sebelum dimulai. Namun setelah pembicaraan dan perdebatan yang cukup alot, akhirnya pertemuan hari itu berhasil tetapi belum menghasilkan kesepakatan dan kesimpulan penting.
Di sisi lain, dalam pertemuan tersebut termuncul ide untuk melibatkan sesama organisasi mahasiswa yang ada pada saat itu semisal, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan lain-lain untuk mengadakan suatu pertemuan bilateral yang lebih luas.
Ide itu muncul karena organisasi-organisasi mahasiswa yang ada merasa adanya manfaat dalam forum pertemuan bilateral tersebut selain bukan hanya untuk perkembangan organisasi masing-masing tetapi juga untuk kepentingan program keterlibatan dalam usaha ‘menyehatkan’ kehidupan perguruan tinggi dan kemasyarakatan. Rasa butuh dan manfaat akan forum pertemuan itu semakin bertambah ketika gagasan pembentukan NUS (National Union of Students) yang dicoba dilaksanakan oleh pemerintah dalam Munas Bogor bulan Desember 1970 ternyata menemui kegagalan.
Tahun 1971, yang pada saat itu disibukkan oleh pemilihan umum pertama Orde Baru hampir tidak ada kesempatan yang leluasa bagi organisasi-organisasi mahasiswa untuk mengembangkan model alternatif kerja sama yang sedang di laksanakan yang diantaranya, gerakan kontrol terhadap pemerintah, protes dan kritik sosial, pelaksanaan Forum Kita Ingin Tahu dan Komite Anti Korupsi yang menyoroti korupsi pemerintahan Orde Baru, pembahasan proyek prestise Miniatur Indonesia (Taman Mini Indonesia Indah) yang mahal.
Di mana kesemuanya itu mendapat hadangan yang cukup keras dari pemerintah sehingga mencapai klimaksnya pada peristiwa Januari Kelabu pada tahun 1972 ketika sejumlah pemuda/mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi dihadapi dengan kekerasaan oleh alat kekuasaan lalu ditangkap dan ditahan.
Hal itu ternyata menimbulkan efek yang sangat besar manfaatnya, tidak hanya untuk kepentingan kehidupan dan melanjutkan perjuangan generasi muda tetapi juga untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa keadaan itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Untuk itu, langkah pertama adalah konsolidasi antarorganisasi mahasiswa sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Pertemuan bilateral antarorganisasi mahasiswa yang sudah diawali pada akhir tahun 1969 ditingkatkan kembali menjadi pertemuan multilateal. Pertemuan kedua itu lebih bermakna, lebih berarti, dan lebih bermanfaat dibandingkan pertemuan sebelumnya.
Tidak mudah untuk membentuk suatu hubungan dan kerja sama yang baru terhadap antarorganisasi mahasiswa seperti yang dilaksanakan pada saat itu, sebab sudah banyak yang dibubarkan karena dianggap ancaman oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu semisal PPMI atau KAMI.
Tanggal 10 Januari 1972, bertepatan dengan hari ulang tahun Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), bertempat di Margasiswa I, PMKRI, keempat pimpinan pusat organisasi mahasiswa yang diantaranya PB HMI, PP PMKRI, DPP GMNI, dan PP GMKI mengadakan suatu pertemuan bersama. Kesimpulan pertemuan tersebut berupa Evaluasi 10 Januari 1972 yang isinya antara lain penilaian terhadap proyek Miniatur Indonesia (Taman Mini Indonesia Indah) mencakup keprihatinan yang mendalam atas kehidupan bangsa, masyarakat, dan negara.
Setelah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) menyadari betapa penting dan bergunanya pertemuan itu maka disusullah satu organisasi mahasiwa lagi yang ikut bergabung dalam pertemuan tersebut, organisasi itu bernama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Dalam pertemuan tersebut mengambil tema yang berjudul ‘Indonesia yang Kita Cita-Citakan’.Gagasan pertemuan ini menjadi kenyataan dengan berhasilnya penyelenggaraan pertemuan yang tergabung dalam Kelompok Cipayung yang diselenggarakan pada tanggal 19-22 Januari 1972. Pertemuan yang diadakan selama tiga hari penuh di Cipayung menghasilkan suatu kesepakatan yang berisi tujuh butir tentang Indonesia yang Kita Cita-citakan. Kesepakatan itu diberi nama Kesepakatan Cipayung.
Dari pertemuan itu muncullah gagasan bahwa kelompok tersebut akan lebih serius dalam membahas dan mengkaji masalah-masalah pokok yang akan dihadapi oleh bangsa dan negara.
Kelompok Cipayung dapat dijadikan sebagai contoh pilihan bagi suatu hubungan kerja sama yang sehat serta mandiri dari organisasi pemuda / mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang pluralistis. Kepluralistikan Kelompok Cipayung disebabkan karena beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, Kelompok Cipayung lahir dari kesadaran internal organisasi mahasiswa sendiri dan bukan melalui paksaan atau tekanan dari luar organisasi.
Kedua, Kelompok Cipayung lahir setelah suatu masa transisi yang menghasilkan pertemuan bilateral guna mengkondisikan kesiapan mental organisasi masing-masing untuk berhubungan dan bekerja sama dalam suatu kelompok. Hal itu penting mengingat dunia kemahasiswaan pernah mengalami situasi ketidakpuasan.
Ketiga, Kelompok Cipayung merupakan suatu model baru dalam hubungan dan kerja sama antarorganisasi mahasiswa guna menghindari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat terjadi dengan suatu model federasi seperti PPMI.
Keempat, Kelompok Cipayung bersifat independen dan tidak memihak kekuatan-kekuatan politik tertentu seperti partai politik dan Golkar.
Jarak waktu antara Kesepakatan Cipayung (22 Januari 1972), yang melahirkan Kelompok Cipayung, dengan Deklarasi Pemuda yang melahirkan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI, 23 Juli 1973) berjarak sekitar satu setengah tahun. Jarak waktu itu cukup penting untuk memulai kedua model ini dalam hubungan dengan mencari latar belakang dan motivasi yang mendasari kelahiran kedua model itu. Setelah dua model ini berjalan lebih dari 20 tahun, masyarakat tentu dapat memberikan penilaiannya.
Jika ada pertanyaan dari masyarakat yang ditujukan kepada Kelompok Cipayung dalam perjalanannya selama ini, bukanlah mempersoalkan hasil dari Kelompok Cipayung tetapi lebih tepat lagi “mengapa Kelompok Cipayung tidak berbuat lebih banyak dan berjalan lebih jauh terhadap apa yang telah dilakukan selama ini?”

Drs. Christ Siner Key Timu - Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI 1971-1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar